Total Pageviews

Monday, May 25, 2009

Konsekuensi Logis Kelimabelas

Pilah-Pilih Presiden

Melanjutkan pembahasan tulisan sebelum ini yang membahas mengenai Neoliberalisme. Paham neoliberalisme sebenarnya sudah cukup lama bercokol di negara tercinta kita ini. Mungkin kita saja yang tidak menyadarinya. Isu ini baru santer terdengar saat SBY menggandeng Boediono untuk maju dalam Pemilihan Presiden tahun 2009 ini. Penulis akui, memang benar akhirnya penulis menyuarakan masalah ini karena dipicu oleh isu tersebut. Tapi bukan berarti penulis baru menggali masalah ini baru-baru ini saja, sudah cukup lama sebenarnya. Penulis hanya memanfaatkan momen untuk menarik perhatian. Tidak ada salahnya bukan?

Dalam komentar menanggapi tulisan tentang neolib tersebut, penulis cukup terkesan dengan argumen saudara Elmer Simanjuntak a.k.a Ucup yang mengatakan bahwa tidak ada paham neolib murni. Apalagi di negara ini. Mungkin benar bahwa ada kadar pemakaian asas ekonomi ini, berdasarkan skala 1 sampai 10, menurut saudara ucup Indonesia masuk kategori 5 atau 6. Bila angka tersebut diinterpretasi, maka hasilnya adalah Standar lah. Sosialis engga, neolib juga engga.

SBY dan Boediono yang merupakan target utama penyebaran isu neolib tersebut, dengan tegas menolak bahwa mereka tidak akan memakai sistem neolib. Mereka bukanlah antek neolib. Sah-sah saja sebenarnya mereka berkata demikian. Tapi bukti tidak berkata demikian.

Seperti apakah ciri-ciri negara yang menganut paham neolib?
Antara lain adalah sebagai berikut:
- negara mengurangi proteksi, salah satu caranya pencabutan subsidi
- adanya privatisasi unit usaha pemerintah, Bank, BUMN, bahkan rumah sakit.
- Dibukanya seluas-luasnya pasar dalam negeri kepada asing. Bahkan sampai institusi pendidikan.
- Penggantungan pertumbuhan ekonomi pada penumpukkan kapital.
Dari sekian hal yang merupakan ciri dari paham neolib, yang mana yang tidak dilakukan SBY? SBY dan JK tentunya. Khan JK wakilnya.

Ah, itu khan cuma isu yang dihembuskan lawan politik untuk mengganjal langkah SBY menuju istana. Bila hal ini dijadikan alasan, berarti saya berpendapat bahwa yang melontarkan alasan ini berpendapat bahwa neolib adalah paham yang buruk, dan tidak seharusnya digunakan di negara kita. Jadi, kita sependapat dong kalo SBY salah. Ops, terlalu berlebihan kayaknya kalau bilang SBY salah. Toh dia merasa dia sudah berbuat yang terbaik buat rakyat Indonesia. Ya sudah, tak perlu kita perbincangkan lagi soal neolib itu. Sekarang kita bicarakan hal yang lebih konkret dan nyata.

Sebenarnya tulisan ini mengarah kepada pembahasan mengenai Pilpres 2009. Penulis mengajak kawan-kawan semua untuk secara kritis memperhitungkan siapa yang akan kawan-kawan pilih saat pemilu nanti. Ingat, 5 detik berpengaruh untuk 5 tahun perjalanan bangsa ini kedepannya.

Kita sebagai mahasiswa tentu pernah merasakan suasana pemilihan pemimpin macam ini, walaupun dengan skala yang lebih kecil tentunya, yaitu Pemilihan ketua BEM Fakultas maupun BEM UI. Coba ingat kembali, hal apa yang akan kita perhitungkan dalam menentukan pilihan.

Ada yang mungkin berdasarkan tampang. (Pilih yang jidatnya kapalan, pasti lebih alim)
Ada yang berdasarkan kedekatan emosional. (Karena sekampus, atau sekosan)
Ada yang berdasarkan ikatan primordial (Sama-sama suku minang misalnya)
Ada yang karena utang budi. (pernah ditraktir pas lagi keabisan jatah uang makan)
Atau alasan ada-ada saja yang lainnya.
Nah, kawan-kawan termasuk yang mana?

Kalau penulis saat pemilihan KaBEM UI, memilih berdasakan tampang. Yang jidatnya kapalan, penulis tidak pilih. Saat KaBEM F. Psi UI, penulis memilih berdasarkan kedekatan emosional. Calonnya merupakan teman curhat penulis. Hehehe.
Lalu, berdasarkan apa kita akan memilih Presiden nanti?

Berdasarkan tampang, jelas pasti udah dipermak semua.
Kedekatan emosional enggak ada. Pernah ketemu juga belom.
Ikatan primordial? Semuanya ada jawa-jawanya.
Utang budi alhamdulillah penulis ga punya.
Jadi berdasarkan apa dong?
Memangnya bisa menyamakan kriteria memilih presiden RI dengan KaBEM UI?
Tentu bisa. Ada satu hal yang sebenarnya bisa jadi patokan. Yang berlaku untuk kedua pemilihan tersebut.

Masih inget waktu jaman kampanye KaBEM kemaren? Masing2 pasangan kandidiat memaparkan Visi dan Misi yang dimiliki agar bisa dinilai oleh pemilih dan dapat dijadikan patokan untuk menentukan pilihan. Begitu juga untuk pemilihan presiden. Seharusnya, kriteria ini lah yang dijadikan landasan dalam menentukan pilihan saat Pilres nanti.

Jangan sampai kita tertipu lagi oleh janji manis yang ditawarkan politisi, yang dapat dilupakan begitu saja tanpa dapat diminta pertanggungjawabannya. Masakah kita mau mengulangi kesalahan yang sama lagi. Tertipu, dan dibohongi, akhirnya hanya bisa gigit jari. Kalo masih berstatus mahasiswa agak lebih enak sedikit. Karena bisa demo dan aksi.

Saat mau milih nanti, pahami dengan benar Visi dan Misi tiap pasangan calon. Perubahan apa yang ditawarkan. Bagaimana mewujudkannya. Dan kalau perlu cari tahu akan melibatkan siapa saja. Jangan tertipu dengan janji akan menjalankan pemerintahan dengan baik. Itumah sebuah keniscayaan. Kalau ga bisa menjalankan pemerintahan dengan baik, masakah berani-beraninya nyalon. Terlebih lagi jangan terbuai janji manis yang menawarkan hal muluk tanpa kejelasan mengenai caranya. Jargon yang sering dipakai (terutama dalam Pileg kemarin) adalah
”Saya akan memperjuangkan Nasib rakyat”.
Woi.. rakyat yang mana? Bagaimana caranya?
Atau janji heboh yang sama sekali ga bisa dipegang
”Saya akan menjadikan Indonesia lebih baik”
Nah, yang lebih baik yang kayak gimana coba?
Pantes aja para politisi itu bisa berkelit dengan mudahnya karena janjinya ga bisa diukur. Bisa aja khan dia ngeklaim pertumbuhan ekonomi 0,00000001 persen itu lebih baik.
Atau terbukanya lapangan pekerjaan untuk 10 orang adalah bukti Indonesia yang lebih baik. Ga salah dong dia?!

Juga jangan tertipu dengan pencitraan yang terlalu positif. Orang berpengaruh di asia lah. Kepala keluarga yang baik kek. Berperilaku santun. Hal itu bukan hal penting yang dapat dijadikan tolok ukur. Memang latar belakang perlu diketahui dan dapat meramalkan perilaku seseorang di masa depan. Tapi ingat. Hal itu tidak bisa dijadikan patokan saat meminta pertanggungjawaban. Yang namanya evaluasi tuh adalah kesenjangan antara rencana dan aktualisasi rencana. Kalo rencananya tidak dipaparkan dengan jelas, dengan patokan apa kita mengevaluasinya.

Contoh gampang.
Rencana : pergi ke sukabumi

Aktualisasi : sampai di sukabumi dalam waktu tujuh hari, dengan pakaian sudah compang-camping, bersimbah peluh, dan darah.

Evaluasi : mission accomplished.

Beda dengan
Rencana :
pergi ke sukabumi hari jum’at jam 5 dari jakarta. naik mobil bareng papa-mama. Diperkirakan sampai jam 9. sabtu jalan-jalan ke pelabuhan ratu. Terus pulang minggu pagi. Sampe jakarta jam 12 paling lama.

Aktualisasi :
berangkat baru jam 7. nunggu papa pulang kantor, terus maghrib dulu sekalian di jama’ isya. Sampe sukabumi udah jam 12 malem. Karena kecapekan, jalan2 ke pelabuhan ratunya jadi agak siang. Tapi pulang tetep minggu pagi, dan sampe jakarta jam 11.30

Evaluasi :
silahkan lakukan sendiri. Kalau rencana dan aktualisasi jelas begini. Anak kecil juga bisa evaluasi. Dan yang pasti, ga perlu takut dibohongi.

Jadi, kalau mau pilih presiden nanti liat yang Visi dan Misi nya jelas dan terukur. Tanpa melihat latar belakangnya seperti apa, kita dapat dengan mudah mengkritisi dan mengevaluasi. Jangan seperti saat ini, mau demo dan aksi harus cari-cari isu yang kira-kira dapat simpati rakyat. Kalau jelas visi dan misi capresnya khan lebih enak demonya. Kayak gini misalnya.......

Di sebuah bundaharan sebuah Hotel yang namanya sesuai dengan nama Negara tersebut, sekumpulan mahasiswa yang berasal dari Universitas yang memiliki nama yang juga sama dengan nama Negara tersebut, sedang melakukan aksi demonstrasi, karena presiden terpilih yang sudah menjabat selama tiga tahun ini melanggar program kerja poin 234 ayat 5 mengenai penyikapan terhadap Tenaga Kerja Indonesia.

Nah, kalo demonya kayak gini khan lebih keren gituh. Hehehehe
Ga bisa berkelit khan yang didemonya.