Total Pageviews

Wednesday, April 29, 2009

Konsekuensi Logis Keempatbelas


Pembiaran Mengakibatkan Kematian

Pada koran Seputar Indonesia terbitan hari Minggu tanggal 26 April 2009, saya membaca sebuah berita yang cukup mengiris hati. Seorang bocah berusia 11 tahun nekat mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri dengan ikat pinggangnya di lemari pakaian di dalam kamarnya. Sayangnya saya lupa nama bocah tersebut, dan di mana pastinya bocah tersebut tinggal, yang saya ingat hanya asal bocah tersebut adalah negara bagian Virginia. Dan yang paling saya ingat dan selalu terngiang di kepala saya adalah kesaksian seorang teman korban yang menyatakan alasan bocah tersebut bunuh diri.

Dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa bocah tersebut selalu diejek oleh teman-teman sekelas, bahkan satu sekolah, bahwa dia adalah seorang gay dan masih perawan. Hal ini dikarenakan si bocah berasal dari Virginia. Kita mungkin bingung untuk mencari hubungan antara daerah asal dengan perilaku seksual seseorang. Namun, bagi teman-teman sekolah bocah tersebut, hal itu bisa menjadi alasan yang cukup untuk mengejek dan melecehkan si bocah.

Bagi teman-teman mahasiswa Psikologi yang membaca kisah ini, mungkin yang terlintas pertama kali adalah ingin mengetahui hubungan bocah tersebut dengan keluarganya. Keluarga sebagai social support utama bagi bocah tersebut tentunya dianggap tidak berhasil melaksanakan perannya, sehingga mengakibatkan bocah tersebut bunuh diri. Namun, kenyataannya, bocah tersebut berasal dari keluarga yang harmonis. Ibu dan ayah yang sangat mencintai anaknya. Si bocah sering kali mengeluh dan mengadu kepada ibunya mengenai perlakuan yang diterimanya di sekolah. Sang ibu pun telah berupaya untuk membantu si bocah dengan cara mengirim surat kepada pihak sekolah, bahkan menemui langsung pejabat sekolah tersebut untuk menangani masalah ini.

Bila tidak ada masalah dalam keluarga, yang patut ditanyakan berikutnya adalah peran pihak sekolah sebagai social support lain yang bertanggung jawab terhadap siswanya selama siswa tersebut berada di sekolah. Menurut perkiraan saya, hal inilah yang akan menjadi titik sorot mahasiswa psikologi yang lain dalam menyikapi kasus ini. Tolong benarkan jika saya salah. Menurut laporan dari sang ibu, segala bentuk laporan kepada pihak sekolah tidak mendapat tanggapan yang berarti. Sekolah terkesan membiarkan hal tersebut terjadi. Entah karena tidak mampu untuk menyelesaikannya, atau memang tidak mau. Yang jelas, peran sekolah sebagai social support tidak dilaksanakan. Oke, penyebab pertama sudah dapat kita perkiraan. Lalu kira-kira apa yang lagi yang bisa menjadi faktor pendorong si bocah untuk bunuh diri.

Sekali lagi saya mencoba untuk menebak jalan pikiran tema-teman mahasiswa psikologi dalam hal ini. Menurut perkiraan saya, teman-teman akan menanyakan mengenai hubungan bocah tersebut dengan teman-temannya. Apakah perkiraan saya ini benar atau salah, hanya teman-teman yang tahu. Menurut pengakuan dari salah seorang (atau mungkin satu-satunya) teman dekat si bocah yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, si bocah ini memang tidak mempunyai teman dekat atau kelompok teman (peer). Dari hal ini kita dapat memperkirakan bahwa si bocah tidak memiliki dukungan sosial dari teman-teman sebayanya. Masih menurut penuturan teman bocah tersebut, hampir semua siswa sekolah itu selalu mengejek dan melecehkan si bocah.

Selanjutnya teman si bocah tersebut menuturkan seperti ini. Tolong disimak dan tolong dipahami. “teman saya tersebut bilang bahwa dia sudah lelah dengan semua ini. Dia sudah melakukan semua cara agar dirinya tidak lagi diejek dan dilecehkan. Dia sudah mengadu kepada semuanya. Dan dia lelah karena tidak ada yang MEMBANTUNYA, hingga akhirnya dia memutuskan untuk bunuh diri”. Maaf bila saya terkesan me-leading teman-teman dalam menyimak dan memahami penuturan teman si bocah tersebut. Saya memang sengaja menulis salah satu kata dengan HURUF KAPITAL, karena hal itulah yang menjadi inti dari tulisan ini.

Saya ingin menggugat semua orang yang melakukan hal buruk kepada bocah tersebut. Orang-orang yang melecehkan dan mengejek si bocah. Namun hal itu tidak dapat saya lakukan, hal paling mungkin saya lakukan adalah mengutuki mereka dalam hati dan doa. Oleh karena itu saya mencoba untuk melakukan hal yang masih bisa saya lakukan. Saya ingin menggugah semua orang yang membaca tulisan ini tentang arti pentingnya sebuah BANTUAN. Tak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali orang di dunia ini yang membutuhkan pertolongan dari orang lain. Kalau DUNIA dianggap terlalu luas, kita persempit menjadi ruang lingkup kehidupan masing-masing dari kita. Coba tengok ke kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, saya yakin, setidaknya ada satu orang yang anda rasa membutuhkan bantuan anda. Bahkan dalam situasi dan kondisi sekarang ini, saya yakin lima orang merupakan jumlah minimal yang mungkin anda temui. Tolong betulkan bila saya salah.

Kembali ke kasus si bocah tersebut, saya sangat yakin bahwa ada satu atau dua orang setidaknya yang merasa bahwa si bocah perlu dibantu. Kita singkirkan orang tua dan pihak sekolah dalam hal ini, kita fokus kepada teman sekolah si bocah saja. Saya yakin tidak SEMUA siswa di sekolah tersebut setuju dengan perlakuan yang diberikan kepada si bocah. Tapi mungkin mereka lebih memilih untuk diam. Terlepas dari alasan apapun, kediaman atau pembiaran ini lah yang menjadi penyebab utama si bocah akhirnya nekat untuk bunuh diri.

Coba lihat kembali kesaksian dari teman si bocah tersebut, ada penekanan pada kata MEMBANTU. Bantuan yang paling diharapkan oleh si bocah adalah bantuan yang dapat membuat dirinya tidak lagi diejek dan dilecehkan. Bantuan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam situasi pelecehan tersebut. Yang paling mungkin adalah teman-teman si bocah itu sendiri. Karena ejekan dan pelecehan tidak mungkin dilakukan bila ada guru atau orang tua si bocah. Jadi, kesimpulan bahwa pembiaran yang dilakukan oleh teman-teman yang lain merupakan penyebab utama faktor pendorong si bocah bunuh diri adalah benar adanya.

Bayngkan, tindakan sederhana berupa pembiaran ini mengakibatkan hilangnya satu nyawa manusia yang masih lugu dan polos. Sekali lagi saya menggugah teman-teman yang membaca tulisan ini, bila anda berada dapat situasi serupa, saya menyarankan anda untuk tidak membiarkan hal tersebut. Karena dapat berakibat fatal berupa hilangnya nyawa. Berikanlah bantuan semaksimal yang anda bisa. Bila anda tidak dapat membantu dengan perbuatan langsung, anda dapat membantu dengan menyatakan pendapat anda. Bila kedua hal tersebut tidak dapat anda lakukan, tunjukkanlah sikap bahwa anda menolak hal buruk itu. Dan bila hal itu tidak bisa anda lakukan juga, cobalah minta bantuan dari pihak lain yang anda rasa dapat bertindak untuk membantu korban.

Saya teringat sebuah tulisan seorang teman beberapa waktu lalu. Dia mendapati dirinya berada pada situasi yang mengarah pada tindakan kejahatan perampokan di bis yang dia tumpangi. Bahkan bukan hanya dia seorang, tapi seluruh penumpang bis itu juga terancam akan menjadi korban. Menyadari hal tersebut teman yang saya ceritakan ini langsung turun dari bis dengan maksud menyelamatkan diri. Sebuah tindakan berani mengingat bis tersebut sedang berjalan. Tapi yang sangat disayangkan adalah tindakan selanjutnya dari teman saya tersebut. Karena merasa dirinya sudah aman, dia langsung melanjutkan perjalanan pulang. Yang jadi pertanyaan saya adalah bagaimana nasib penumpang bis lainnya. Saya memaklumi ketidakmampuan teman saya pribadi untuk mencegah hal tersebut, namun saya rasa teman saya itu masih bisa melakukan tindakan lain yaitu melaporkan hal tersebut kepada polisi. Setidaknya hal itu dapat meyelamatkan penumpang lain dalam bis tersebut.

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya bagaimana nasib penumpang lain dalam bis tersebut. Semoga saja mereka setidaknya selamat. Semoga tidak ada nyawa lain yang terbuang sia-sia karena sikap kita yang membiarkan hal buruk terjadi. Semoga saja.

No comments:

Post a Comment