Total Pageviews

Wednesday, November 25, 2009

Konsekuensi Logis Kesembilanbelas

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya.

Peribahasa tersebut cocok untuk menggambarkan perbedaan pemilihan Ketua BEM UI dan F. Psikologi UI. Pun sama-sama di UI, ternyata perbedaan tidak hanya ada di tingkatan lembaga tetapi juga di system pemilihannya. Yang pertama jelas berbeda adalah kandidat yang berhak maju untuk ikut pemilihan ketua BEM. Kalau BEM UI yang maju adalah pasangan kandidat, di F. Psikologi yang maju hanya satu orang kandidat. Kalau pada pemilihan kali ini BEM UI memiliki tiga pasang calon, di BEM F. Psikologi hanya memiliki satu orang calon. Dan yang paling jelas berbeda adalah syarat jumlah perolehan suara yang harus didapat kandidat agar berhak menjadi Ketua BEM.

Di F. Psikologi terdapat mekanisme yang mengatur agar legitimasi kandidat yang menang terjaga, yaitu dengan menyatakan bahwa pemilihan dianggap sah bila suara yang masuk berjumlah minimal dua per tiga dari daftar pemilih. Namun, di BEM UI, tidak terdapat mekanisme ini. Jadi dapat dikatakan, berapapun jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, proses pemilihan dianggap sah. Bila mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya banyak, dalam hal ini setidaknya setengah dari jumlah mahasiswa yang memiliki hak pilih, tentu saja kita tidak perlu mempertanyakan legitimasi dari kandidat yang menang. Namun kenyataannya, pada Pemilihan Raya (PEMIRA) IKM UI, tahun ke tahun, jumlah mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya tidak sampai sepertiganya (dengan mengacu pada jumlah mahasiswa yang memiliki hak pilih sejumlah 30.000 orang).

Saya melihat ada persamaan antara PEMIRA UI dengan PEMILU di Negara tercinta kita ini. Komisi pemilihan, KPU dan Panitia Pemira, tidak memiliki tanggung jawab untuk memastikan pemilih menggunakan hak pilihnya. Tidak diatur secara jelas berapa jumlah pemilih minimal yang menggunakan hak pilihnya sehingga komisi pemilihan dianggap berhasil menjalankan tugasnya. Karena kewajiban untuk membuat pemilih menggunakan hak pilih tidak ada, maka komisi pemilihan menurut saya bisa saja tidak melakukan tugasnya dengan maksimal. Kenapa juga musti ngoyo kalau santai-santai pun bisa berhasil. Kalau menurut prinsip ekonomi, menggunakan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya.

Kita dapat melihat dari tahun ke tahun PEMIRA IKM UI hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa saja, dan tidak ada evaluasi dari panitia sebelumnya untuk mengantisipasi hal ini. Kesan pembiaran hal ini jelas sekali terlihat. Pertanyaan yang masih menggantung di benak saya adalah “Apa bedanya para mahasiswa ini dengan para pejabat yang selalu diteriaki dan didemonya?”

Konsekuensi Logis Kedelapanbelas

Kesampaian Ga yah???

Hal menarik saya dapatkan saat melihat Debat dan Eksploring (DEBOKS) Kandidat Ketua BEM F. Psikologi UI periode 2010. Karena calonnya hanya satu, bagaimana menentukan kandidat ini layak atau tidak menjadi Ketua BEM F. Psikologi UI.

Menurut penjelasan Wakil Ketua MPM F. Psikologi UI, ada mekanisme yang menjaga legitimasi dari kandidat yang terpilih. Pertama, sebuah pemilihan baru dianggap sah bila jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya minimal dua per tiga dari mahasiswa yang berhak memilih. Kedua, seorang calon tunggal dinyatakan berhak menjadi seorang Ketua BEM F. Psikologi UI bila mendapatkan setidaknya satu per tiga suara sah yang memilih dirinya dari jumlah suara yang masuk. Dengan catatan syarat pertama sehingga pemilihan dianggap sah terpenuhi. Contohnya, bila jumlah mahasiswa yang berhak memilih ada 1500 orang, maka pemilihan baru dianggap sah bila jumlah mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya berjumlah setidaknya 1000 orang. Dari jumlah 1000 tersebut, kandidat harus mendapatkan suara sah yang memilih dirinya sedikitnya 223 orang. (PR banget neh ^_^)

Lalu, bagaimana bila ternyata kandidat tidak berhasil memenuhi dua syarat ini. Lagi-lagi menurut wakil ketua MPM F. Psikologi UI, akan ada mekanisme khusus yang akan diambil oleh Senat Mahasiswa F. Psikologi UI untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua BEM F. Psikologi UI. Penjelasan ini masih sulit untuk saya operasionalisasikan. Bagaimana pemilihannya, siapa saja yang berhak untuk dipilih, lalu siapa saja yang dilibatkan selain Senat Mahasiswa dalam mekanisme ini? Saya sangat tertarik untuk menyaksikan kejadian langka ini. Kira-kira kesampaian tidak ya???

Konsekuensi Logis Ketujuhbelas

Mereka Sanggup Bertahan

Teringat kembali akan perjalanan menghabiskan waktu liburan menjelajahi wilayah Ibukota DKI Jakarta yang jarang sekali terlintas di pikiran, yaitu Kepulauan Seribu, tepatnya Pulau Tidung. Sedikit takjub ternyata di pinggiran padatnya kota metropolitan Jakarta, masih terdapat suasana alam yang asri dan indah untuk dinikmati. Makin yakin bahwa Indonesia memang surga bagi para penikmat keindahan alam. Namun, pengalaman menyenangkan ini terpaksa harus ditutup dengan kenyataan yang menyesakkan.

Pada perjalanan pulang, karena satu dan lain hal, kami terpaksa harus memutar cukup jauh dari rute kami berangkat menuju pelabuhan kecil di pinggir Tangerang. Dalam perjalanan ini, segala macam keindahan yang sejenak masih terbayang langsung terhapuskan. Pemandangan yang terlihat sungguh miris. Di tempat yang letaknya tidak jauh dari Ibukota masih banyak dijumpai penduduk yang menggunakan air kali untuk melaksanakan sebagian besar hajat hidupnya. Mulai dari mencuci, mandi, hingga buang air. Lebih parahnya lagi, kali yang digunakan tersebut sebenarnya tidak layak disebut kali. Kalau menurut pendapat saya, tempat itu lebih tepat disebut sebagai genangan air. Genangan air yang kotor, bau, dan tidak sedap untuk dipandang. Coba bayangkan, air kali yang berwarna coklat, bahkan hitam, masih saja digunakan untuk mencuci, mandi, dan mungkin untuk minum. Tempatnya ga jauh dari Jakarta lho. Cuma dua jam dari Kali Deres. Menurut saya ini GILA!!!

Tapi, mereka sanggup bertahan.

Lain lagi pemandangan di sepanjang rel kereta stasiun Senen menuju Jatinegara. Kali ini, perjalanan yang dimaksudkan untuk liburan lagi-lagi dijejali dengan pemandangan yang menyesakkan. Di pinggir rel tersebut terdapat banyak sekali rumah yang tidak bisa disebut rumah. Hanya terbuat dari papan dan seng yang didirikan sekenanya. Karena tidak kuat melihat pemandangan tersebut, saya mencoba memalingkan muka dan mencoba melihat aktifitas di dalam kereta yang ternyata tidak kalah menyedihkannya. Seorang anak yang cacat sedang menengadahkan tangan meminta-minta belas kasihan. Sedangkan beberapa bocah lain seusianya sibuk menjajakan barang dagangan yang entah apa. Sebuah kehidupan keras yang harus mereka jalani dalam usia semuda itu.

Tapi mereka sangup bertahan.

Pernah juga pada suatu malam yang sudah sangat larut, disaat saya sedang berbicang dengan kawan mengenai kegiatan kepemudaan di lingkungan rumah. Obrolan kami terhenti dan perhatian kami teralihkan pada beberapa orang anak kecil yang menggendong karung yang berusaha diisi dengan sampah-sampah yang dapat dijadikan uang. Padahal waktu itu obrolan kami hampir berakhir karena kami sudah merasa mengantuk dan lelah. Namun, para anak kecil ini kami lihat dengan riang gembira berusaha memenuhi karungnya dengan barang yang mereka anggap berharga.

Dan ternyata mereka sanggup bertahan.

Lalu, kemudian perhatian saya lagi-lagi teralihkan.

Monday, October 19, 2009

Konsekuensi Logis Keenambelas

Kecerdasan dan Berbicara (Kecerdasan Berbicara)

Kemarin, bertambah lagi daftar temen yang komplain soal pemahaman terhadap apa yang gw katakan. Menanggapi hal ini, ada dua hipotesis yang gw punya.

Landasan pertama dari hipotesis yang gw buat adalah kenyataan bahwa kemampuan berbicara merupakan indikator dari kecerdasan seseorang. Berbicara, tentu saja merupakan sebuah aktifitas yang membutuhkan kinerja otak. Sebelum berbicara, seseorang tentu perlu memikirkan terlebih dahulu apa yang ingin diucapkan. Kalau kita tidak memikirkan apa yang kita ucapkan, tentu akan mengakibatkan hal yang tidak menyenangkan. Buktinya, saat seseorang merasa tersinggung dengan ucapan seorang lainnya, makian yang paling sering digunakan adalah :
"Makanya, mikir dulu baru ngomong!!!"

Landasan kedua dari hipotesis gw adalah, pemahaman terhadap ucapan dan, atau pembicaraan seseorang juga merupakan indikator dari kecerdasan. Semakin cerdas seseorang, maka ia mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menghubung-hubungkan simbol, makna, dan ide dari pembicaraan seseorang, sehingga dia dapat dengan mudah memahami pembicaraan orang tersebut. Kurangnya pemahaman terhadap ucapan seseorang juga mengakibatkan hal yang tidak menyenangkan, contohnya adalah makian ini :
"Udah dibilangin berkali-kali juga! Masa ga ngerti juga sih?!"

Nah, dikarenakan pembicaraan merupakan aktifitas interaktif yang melibatkan dua belah pihak, dimana kedua belah pihak tersebut saling bekerja sama untuk mengerti satu-sama-lain, maka kesalahan dalam memahami omongan gw (untuk seterusnya kita anggap Pihak Pertama) bisa jadi memang omongan gw yang sulit dimengerti, atau memang orang yg sedang berbicara dengan gw (kita sebut mereka Pihak Kedua), yang kurang bisa memahami perkataan gw.

Jadi, Hipotesis gw adalah begini :

Pertama : Gw adalah seorang yang cerdas, dengan pemikiran yang di atas rata-rata, sehingga membutuhkan pihak kedua dengan kemanpuan yang lebih kurang sama ma gw untuk memahami perkataan gw.
Kedua : Bukan nya para Pihak kedua yang kurang cerdas, mereka sebenarnya cerdas, tapi memang omongan gw aja yang sulit dimengerti karena tingkat kecerdasan gw yang memang sudah diatas rata-rata sehingga agak-agak beda ma biasanya dalam mengkonstruk sebuah pikiran atau pendapat..

Intinya, mau hipotesis yang mana juga, tetap gw yang ga salah.. hehehe

Ps: yah.. sebenernya ini tulisan merupakan pembenaran dan pembelaan terhadap apa-apa yang gw rasa kekurangan. sejujurnya gw akui, jalan pikiran ini sulit dimengeri, bahkaan oleh diri sendiri. Jadi, maaf yaks ^_^

Monday, May 25, 2009

Konsekuensi Logis Kelimabelas

Pilah-Pilih Presiden

Melanjutkan pembahasan tulisan sebelum ini yang membahas mengenai Neoliberalisme. Paham neoliberalisme sebenarnya sudah cukup lama bercokol di negara tercinta kita ini. Mungkin kita saja yang tidak menyadarinya. Isu ini baru santer terdengar saat SBY menggandeng Boediono untuk maju dalam Pemilihan Presiden tahun 2009 ini. Penulis akui, memang benar akhirnya penulis menyuarakan masalah ini karena dipicu oleh isu tersebut. Tapi bukan berarti penulis baru menggali masalah ini baru-baru ini saja, sudah cukup lama sebenarnya. Penulis hanya memanfaatkan momen untuk menarik perhatian. Tidak ada salahnya bukan?

Dalam komentar menanggapi tulisan tentang neolib tersebut, penulis cukup terkesan dengan argumen saudara Elmer Simanjuntak a.k.a Ucup yang mengatakan bahwa tidak ada paham neolib murni. Apalagi di negara ini. Mungkin benar bahwa ada kadar pemakaian asas ekonomi ini, berdasarkan skala 1 sampai 10, menurut saudara ucup Indonesia masuk kategori 5 atau 6. Bila angka tersebut diinterpretasi, maka hasilnya adalah Standar lah. Sosialis engga, neolib juga engga.

SBY dan Boediono yang merupakan target utama penyebaran isu neolib tersebut, dengan tegas menolak bahwa mereka tidak akan memakai sistem neolib. Mereka bukanlah antek neolib. Sah-sah saja sebenarnya mereka berkata demikian. Tapi bukti tidak berkata demikian.

Seperti apakah ciri-ciri negara yang menganut paham neolib?
Antara lain adalah sebagai berikut:
- negara mengurangi proteksi, salah satu caranya pencabutan subsidi
- adanya privatisasi unit usaha pemerintah, Bank, BUMN, bahkan rumah sakit.
- Dibukanya seluas-luasnya pasar dalam negeri kepada asing. Bahkan sampai institusi pendidikan.
- Penggantungan pertumbuhan ekonomi pada penumpukkan kapital.
Dari sekian hal yang merupakan ciri dari paham neolib, yang mana yang tidak dilakukan SBY? SBY dan JK tentunya. Khan JK wakilnya.

Ah, itu khan cuma isu yang dihembuskan lawan politik untuk mengganjal langkah SBY menuju istana. Bila hal ini dijadikan alasan, berarti saya berpendapat bahwa yang melontarkan alasan ini berpendapat bahwa neolib adalah paham yang buruk, dan tidak seharusnya digunakan di negara kita. Jadi, kita sependapat dong kalo SBY salah. Ops, terlalu berlebihan kayaknya kalau bilang SBY salah. Toh dia merasa dia sudah berbuat yang terbaik buat rakyat Indonesia. Ya sudah, tak perlu kita perbincangkan lagi soal neolib itu. Sekarang kita bicarakan hal yang lebih konkret dan nyata.

Sebenarnya tulisan ini mengarah kepada pembahasan mengenai Pilpres 2009. Penulis mengajak kawan-kawan semua untuk secara kritis memperhitungkan siapa yang akan kawan-kawan pilih saat pemilu nanti. Ingat, 5 detik berpengaruh untuk 5 tahun perjalanan bangsa ini kedepannya.

Kita sebagai mahasiswa tentu pernah merasakan suasana pemilihan pemimpin macam ini, walaupun dengan skala yang lebih kecil tentunya, yaitu Pemilihan ketua BEM Fakultas maupun BEM UI. Coba ingat kembali, hal apa yang akan kita perhitungkan dalam menentukan pilihan.

Ada yang mungkin berdasarkan tampang. (Pilih yang jidatnya kapalan, pasti lebih alim)
Ada yang berdasarkan kedekatan emosional. (Karena sekampus, atau sekosan)
Ada yang berdasarkan ikatan primordial (Sama-sama suku minang misalnya)
Ada yang karena utang budi. (pernah ditraktir pas lagi keabisan jatah uang makan)
Atau alasan ada-ada saja yang lainnya.
Nah, kawan-kawan termasuk yang mana?

Kalau penulis saat pemilihan KaBEM UI, memilih berdasakan tampang. Yang jidatnya kapalan, penulis tidak pilih. Saat KaBEM F. Psi UI, penulis memilih berdasarkan kedekatan emosional. Calonnya merupakan teman curhat penulis. Hehehe.
Lalu, berdasarkan apa kita akan memilih Presiden nanti?

Berdasarkan tampang, jelas pasti udah dipermak semua.
Kedekatan emosional enggak ada. Pernah ketemu juga belom.
Ikatan primordial? Semuanya ada jawa-jawanya.
Utang budi alhamdulillah penulis ga punya.
Jadi berdasarkan apa dong?
Memangnya bisa menyamakan kriteria memilih presiden RI dengan KaBEM UI?
Tentu bisa. Ada satu hal yang sebenarnya bisa jadi patokan. Yang berlaku untuk kedua pemilihan tersebut.

Masih inget waktu jaman kampanye KaBEM kemaren? Masing2 pasangan kandidiat memaparkan Visi dan Misi yang dimiliki agar bisa dinilai oleh pemilih dan dapat dijadikan patokan untuk menentukan pilihan. Begitu juga untuk pemilihan presiden. Seharusnya, kriteria ini lah yang dijadikan landasan dalam menentukan pilihan saat Pilres nanti.

Jangan sampai kita tertipu lagi oleh janji manis yang ditawarkan politisi, yang dapat dilupakan begitu saja tanpa dapat diminta pertanggungjawabannya. Masakah kita mau mengulangi kesalahan yang sama lagi. Tertipu, dan dibohongi, akhirnya hanya bisa gigit jari. Kalo masih berstatus mahasiswa agak lebih enak sedikit. Karena bisa demo dan aksi.

Saat mau milih nanti, pahami dengan benar Visi dan Misi tiap pasangan calon. Perubahan apa yang ditawarkan. Bagaimana mewujudkannya. Dan kalau perlu cari tahu akan melibatkan siapa saja. Jangan tertipu dengan janji akan menjalankan pemerintahan dengan baik. Itumah sebuah keniscayaan. Kalau ga bisa menjalankan pemerintahan dengan baik, masakah berani-beraninya nyalon. Terlebih lagi jangan terbuai janji manis yang menawarkan hal muluk tanpa kejelasan mengenai caranya. Jargon yang sering dipakai (terutama dalam Pileg kemarin) adalah
”Saya akan memperjuangkan Nasib rakyat”.
Woi.. rakyat yang mana? Bagaimana caranya?
Atau janji heboh yang sama sekali ga bisa dipegang
”Saya akan menjadikan Indonesia lebih baik”
Nah, yang lebih baik yang kayak gimana coba?
Pantes aja para politisi itu bisa berkelit dengan mudahnya karena janjinya ga bisa diukur. Bisa aja khan dia ngeklaim pertumbuhan ekonomi 0,00000001 persen itu lebih baik.
Atau terbukanya lapangan pekerjaan untuk 10 orang adalah bukti Indonesia yang lebih baik. Ga salah dong dia?!

Juga jangan tertipu dengan pencitraan yang terlalu positif. Orang berpengaruh di asia lah. Kepala keluarga yang baik kek. Berperilaku santun. Hal itu bukan hal penting yang dapat dijadikan tolok ukur. Memang latar belakang perlu diketahui dan dapat meramalkan perilaku seseorang di masa depan. Tapi ingat. Hal itu tidak bisa dijadikan patokan saat meminta pertanggungjawaban. Yang namanya evaluasi tuh adalah kesenjangan antara rencana dan aktualisasi rencana. Kalo rencananya tidak dipaparkan dengan jelas, dengan patokan apa kita mengevaluasinya.

Contoh gampang.
Rencana : pergi ke sukabumi

Aktualisasi : sampai di sukabumi dalam waktu tujuh hari, dengan pakaian sudah compang-camping, bersimbah peluh, dan darah.

Evaluasi : mission accomplished.

Beda dengan
Rencana :
pergi ke sukabumi hari jum’at jam 5 dari jakarta. naik mobil bareng papa-mama. Diperkirakan sampai jam 9. sabtu jalan-jalan ke pelabuhan ratu. Terus pulang minggu pagi. Sampe jakarta jam 12 paling lama.

Aktualisasi :
berangkat baru jam 7. nunggu papa pulang kantor, terus maghrib dulu sekalian di jama’ isya. Sampe sukabumi udah jam 12 malem. Karena kecapekan, jalan2 ke pelabuhan ratunya jadi agak siang. Tapi pulang tetep minggu pagi, dan sampe jakarta jam 11.30

Evaluasi :
silahkan lakukan sendiri. Kalau rencana dan aktualisasi jelas begini. Anak kecil juga bisa evaluasi. Dan yang pasti, ga perlu takut dibohongi.

Jadi, kalau mau pilih presiden nanti liat yang Visi dan Misi nya jelas dan terukur. Tanpa melihat latar belakangnya seperti apa, kita dapat dengan mudah mengkritisi dan mengevaluasi. Jangan seperti saat ini, mau demo dan aksi harus cari-cari isu yang kira-kira dapat simpati rakyat. Kalau jelas visi dan misi capresnya khan lebih enak demonya. Kayak gini misalnya.......

Di sebuah bundaharan sebuah Hotel yang namanya sesuai dengan nama Negara tersebut, sekumpulan mahasiswa yang berasal dari Universitas yang memiliki nama yang juga sama dengan nama Negara tersebut, sedang melakukan aksi demonstrasi, karena presiden terpilih yang sudah menjabat selama tiga tahun ini melanggar program kerja poin 234 ayat 5 mengenai penyikapan terhadap Tenaga Kerja Indonesia.

Nah, kalo demonya kayak gini khan lebih keren gituh. Hehehehe
Ga bisa berkelit khan yang didemonya.

Wednesday, April 29, 2009

Konsekuensi Logis Keempatbelas


Pembiaran Mengakibatkan Kematian

Pada koran Seputar Indonesia terbitan hari Minggu tanggal 26 April 2009, saya membaca sebuah berita yang cukup mengiris hati. Seorang bocah berusia 11 tahun nekat mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri dengan ikat pinggangnya di lemari pakaian di dalam kamarnya. Sayangnya saya lupa nama bocah tersebut, dan di mana pastinya bocah tersebut tinggal, yang saya ingat hanya asal bocah tersebut adalah negara bagian Virginia. Dan yang paling saya ingat dan selalu terngiang di kepala saya adalah kesaksian seorang teman korban yang menyatakan alasan bocah tersebut bunuh diri.

Dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa bocah tersebut selalu diejek oleh teman-teman sekelas, bahkan satu sekolah, bahwa dia adalah seorang gay dan masih perawan. Hal ini dikarenakan si bocah berasal dari Virginia. Kita mungkin bingung untuk mencari hubungan antara daerah asal dengan perilaku seksual seseorang. Namun, bagi teman-teman sekolah bocah tersebut, hal itu bisa menjadi alasan yang cukup untuk mengejek dan melecehkan si bocah.

Bagi teman-teman mahasiswa Psikologi yang membaca kisah ini, mungkin yang terlintas pertama kali adalah ingin mengetahui hubungan bocah tersebut dengan keluarganya. Keluarga sebagai social support utama bagi bocah tersebut tentunya dianggap tidak berhasil melaksanakan perannya, sehingga mengakibatkan bocah tersebut bunuh diri. Namun, kenyataannya, bocah tersebut berasal dari keluarga yang harmonis. Ibu dan ayah yang sangat mencintai anaknya. Si bocah sering kali mengeluh dan mengadu kepada ibunya mengenai perlakuan yang diterimanya di sekolah. Sang ibu pun telah berupaya untuk membantu si bocah dengan cara mengirim surat kepada pihak sekolah, bahkan menemui langsung pejabat sekolah tersebut untuk menangani masalah ini.

Bila tidak ada masalah dalam keluarga, yang patut ditanyakan berikutnya adalah peran pihak sekolah sebagai social support lain yang bertanggung jawab terhadap siswanya selama siswa tersebut berada di sekolah. Menurut perkiraan saya, hal inilah yang akan menjadi titik sorot mahasiswa psikologi yang lain dalam menyikapi kasus ini. Tolong benarkan jika saya salah. Menurut laporan dari sang ibu, segala bentuk laporan kepada pihak sekolah tidak mendapat tanggapan yang berarti. Sekolah terkesan membiarkan hal tersebut terjadi. Entah karena tidak mampu untuk menyelesaikannya, atau memang tidak mau. Yang jelas, peran sekolah sebagai social support tidak dilaksanakan. Oke, penyebab pertama sudah dapat kita perkiraan. Lalu kira-kira apa yang lagi yang bisa menjadi faktor pendorong si bocah untuk bunuh diri.

Sekali lagi saya mencoba untuk menebak jalan pikiran tema-teman mahasiswa psikologi dalam hal ini. Menurut perkiraan saya, teman-teman akan menanyakan mengenai hubungan bocah tersebut dengan teman-temannya. Apakah perkiraan saya ini benar atau salah, hanya teman-teman yang tahu. Menurut pengakuan dari salah seorang (atau mungkin satu-satunya) teman dekat si bocah yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, si bocah ini memang tidak mempunyai teman dekat atau kelompok teman (peer). Dari hal ini kita dapat memperkirakan bahwa si bocah tidak memiliki dukungan sosial dari teman-teman sebayanya. Masih menurut penuturan teman bocah tersebut, hampir semua siswa sekolah itu selalu mengejek dan melecehkan si bocah.

Selanjutnya teman si bocah tersebut menuturkan seperti ini. Tolong disimak dan tolong dipahami. “teman saya tersebut bilang bahwa dia sudah lelah dengan semua ini. Dia sudah melakukan semua cara agar dirinya tidak lagi diejek dan dilecehkan. Dia sudah mengadu kepada semuanya. Dan dia lelah karena tidak ada yang MEMBANTUNYA, hingga akhirnya dia memutuskan untuk bunuh diri”. Maaf bila saya terkesan me-leading teman-teman dalam menyimak dan memahami penuturan teman si bocah tersebut. Saya memang sengaja menulis salah satu kata dengan HURUF KAPITAL, karena hal itulah yang menjadi inti dari tulisan ini.

Saya ingin menggugat semua orang yang melakukan hal buruk kepada bocah tersebut. Orang-orang yang melecehkan dan mengejek si bocah. Namun hal itu tidak dapat saya lakukan, hal paling mungkin saya lakukan adalah mengutuki mereka dalam hati dan doa. Oleh karena itu saya mencoba untuk melakukan hal yang masih bisa saya lakukan. Saya ingin menggugah semua orang yang membaca tulisan ini tentang arti pentingnya sebuah BANTUAN. Tak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali orang di dunia ini yang membutuhkan pertolongan dari orang lain. Kalau DUNIA dianggap terlalu luas, kita persempit menjadi ruang lingkup kehidupan masing-masing dari kita. Coba tengok ke kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, saya yakin, setidaknya ada satu orang yang anda rasa membutuhkan bantuan anda. Bahkan dalam situasi dan kondisi sekarang ini, saya yakin lima orang merupakan jumlah minimal yang mungkin anda temui. Tolong betulkan bila saya salah.

Kembali ke kasus si bocah tersebut, saya sangat yakin bahwa ada satu atau dua orang setidaknya yang merasa bahwa si bocah perlu dibantu. Kita singkirkan orang tua dan pihak sekolah dalam hal ini, kita fokus kepada teman sekolah si bocah saja. Saya yakin tidak SEMUA siswa di sekolah tersebut setuju dengan perlakuan yang diberikan kepada si bocah. Tapi mungkin mereka lebih memilih untuk diam. Terlepas dari alasan apapun, kediaman atau pembiaran ini lah yang menjadi penyebab utama si bocah akhirnya nekat untuk bunuh diri.

Coba lihat kembali kesaksian dari teman si bocah tersebut, ada penekanan pada kata MEMBANTU. Bantuan yang paling diharapkan oleh si bocah adalah bantuan yang dapat membuat dirinya tidak lagi diejek dan dilecehkan. Bantuan semacam ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam situasi pelecehan tersebut. Yang paling mungkin adalah teman-teman si bocah itu sendiri. Karena ejekan dan pelecehan tidak mungkin dilakukan bila ada guru atau orang tua si bocah. Jadi, kesimpulan bahwa pembiaran yang dilakukan oleh teman-teman yang lain merupakan penyebab utama faktor pendorong si bocah bunuh diri adalah benar adanya.

Bayngkan, tindakan sederhana berupa pembiaran ini mengakibatkan hilangnya satu nyawa manusia yang masih lugu dan polos. Sekali lagi saya menggugah teman-teman yang membaca tulisan ini, bila anda berada dapat situasi serupa, saya menyarankan anda untuk tidak membiarkan hal tersebut. Karena dapat berakibat fatal berupa hilangnya nyawa. Berikanlah bantuan semaksimal yang anda bisa. Bila anda tidak dapat membantu dengan perbuatan langsung, anda dapat membantu dengan menyatakan pendapat anda. Bila kedua hal tersebut tidak dapat anda lakukan, tunjukkanlah sikap bahwa anda menolak hal buruk itu. Dan bila hal itu tidak bisa anda lakukan juga, cobalah minta bantuan dari pihak lain yang anda rasa dapat bertindak untuk membantu korban.

Saya teringat sebuah tulisan seorang teman beberapa waktu lalu. Dia mendapati dirinya berada pada situasi yang mengarah pada tindakan kejahatan perampokan di bis yang dia tumpangi. Bahkan bukan hanya dia seorang, tapi seluruh penumpang bis itu juga terancam akan menjadi korban. Menyadari hal tersebut teman yang saya ceritakan ini langsung turun dari bis dengan maksud menyelamatkan diri. Sebuah tindakan berani mengingat bis tersebut sedang berjalan. Tapi yang sangat disayangkan adalah tindakan selanjutnya dari teman saya tersebut. Karena merasa dirinya sudah aman, dia langsung melanjutkan perjalanan pulang. Yang jadi pertanyaan saya adalah bagaimana nasib penumpang bis lainnya. Saya memaklumi ketidakmampuan teman saya pribadi untuk mencegah hal tersebut, namun saya rasa teman saya itu masih bisa melakukan tindakan lain yaitu melaporkan hal tersebut kepada polisi. Setidaknya hal itu dapat meyelamatkan penumpang lain dalam bis tersebut.

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya bagaimana nasib penumpang lain dalam bis tersebut. Semoga saja mereka setidaknya selamat. Semoga tidak ada nyawa lain yang terbuang sia-sia karena sikap kita yang membiarkan hal buruk terjadi. Semoga saja.

Monday, April 27, 2009

Konsekuensi Logis Ketigabelas

First Come First Serve




Janji adalah hutang. Sebuah pepatah lama, tapi akan berlaku sepanjang masa. Layaknya orang berhutang, pasti akan ada pihak yang menagih hutang tersebut. Bila hutang tak dibayar, maka sanksi pasti akan diberikan. Bentuk sanksi bisa bermacam-macam. Mulai dari sanksi moral, hingga sanksi material. Tapi tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai masalah sanksi. Tulisan ini akan berfokus pada masalah janji.

Dalam hidup, setiap manusia pasti tidak akan terlepas dari takdir pertemuan. Meminjam istilah yang lebih sering digunakan yaitu berjodoh. Istilah ini sudah mengalami penyempitan makna sedemikian rupa hingga terlupakan makna aslinya. Jodoh adalah takdir pertemuan antara manusia dengan manusia lainnya. Jodoh bukan hanya bermakna sebagai hal yang merujuk pada pertemuan antara sepasang kekasih. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kata jodoh memang mengalami penyempitan makna. Tapi, kita tidak akan membahas lebih jauh masalah jodoh, perjodohan, dijodohkan, menjodohkan, dan kata-kata turunan dari jodoh lainnya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tulisan ini akan membahas mengenai janji. Dan kita akan fokus dalam hal itu.

Sedikit menyinggung masalah jodoh, setiap manusia pasti akan berjodoh dengan manusia lainnya. Untuk memudahkan pemahaman, kita tinggalkan istilah jodoh. Dalam tulisan selanjutnya, kata tersebut akan digantikan dengan pertemuan. Pertemuan antar manusia dapat dikategorikan menjadi pertemuan antar orang per-orang dan antara seseorang dengan sebuah kelompok, atau pertemuan antara kelompok dengan kelompok lainnya. Istilah untuk pertemuan pun bermacam-macam. Kencan, rapat, meeting, diskusi, hearing, dan masih banyak istilah lainnya. Namun saya ingatkan, tulisan ini tidak akan membahas mengenai masalah pertemuan, tapi mengenai janji. Jadi, mari kita berusaha fokus pada masalah janji tersebut.

Pertemuan-pertemuan yang disebutkan di paragraf sebelum ini, takkan terjadi tanpa ada kesepakatan antar para pihak yang ingin bertemu. Kesepakatan itu ditentukan dengan maksud agar pertemuan dapat terjadi. Perlu disadari bahwa masing-masing pihak yang merencanakan untuk bertemu tersebut pasti memiliki urusan-urusan lain yang sama penting, atau bahkan lebih penting dari pertemuan yang dimaksudkan. Oleh karena itu kesepakatan mengenai kapan dan dimana pertemuan dilangsungkan perlu dibuat. Hal ini dengan maksud agar pertemuan tersebut tidak mengganggu pertemuan yang lain. Jadi para pihak tetap dapat menjadi produktif. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dengan berbagai macam cara. Bisa saja melalui sms, telepon, email, facebook, twitter, dan macam-macam cara lainnya. Sebaiknya anda tidak berharap akan mendapatkan penjelasan mengenai macam-macam cara kesepakatan tersebut dibuat, karena Anda tidak akan mendapatkan hal itu disini. Sekali lagi saya ingatkan, tulisan ini membahas mengenai janji, jadi saya harapkan kerjasama Anda untuk mewujudkan hal tersebut.

Kesanggupan seseorang untuk menepati kesepakatan yang telah dibuat itulah yang disebut janji. Seperti sudah saya katakan, tulisan ini akan membahas masalah janji, jadi jangan kaget saat tulisan ini sudah membahas mengenai masalah janji. Kembali ke fokus bahasan. Janji yang sudah dibuat tersebut, sudah seharusnya dipenuhi. Karena bila tidak, maka akan ada sanksi yang akan kita terima. Seperti yang saya sebutkan pada paragraf pertama -bila lupa silahkan baca kembali. Namun, dalam situasi dan kondisi nyata, kita tidak hanya akan membuat sebuah janji. Akan ada janji-janji lain yang kita buat. Baik dengan pihak yang sama, ataupun dengan pihak yang lainnya. Masalah timbul saat sebuah janji berpotensi untuk membuat kita melanggar janji yang lain. Apapaun alasannya, pelanggaran sebuah janji pasti akan menuai sanksi. Bentuknya sanksinya seperti apa, lihat kembali paragraf pertama.

Potensi terjadinya janji yang tumpah tindih tersebut harus diminimalisir, kalau perlu dihilangkan sama sekali. Hal itu mungkin dilakukan, dan tulisan ini dimasudkan untuk memberitahukan bagaimana melakukan hal tersebut. Prisnsip utama yang harus dipegang dalam pembuatan sebuah janji adalah First Come, First Serve. Maksud dari prinsip ini adalah janji yang lebih dahulu dibuat harus diprioritaskan. Bila ada janji lain yang dibuat setelah janji tersebut, maka tidak akan mengambil waktu yang bersamaan. Sehingga akan meminimalisir potensi janji yang bentrok. Hal yang sangat sederhana sebenarnya. Bahkan mungkin sudah diketahui oleh semua. Namun pada kenyataannya hal ini sangat sulit dilakukan.

Kita seharusnya mengkategorikan janji menjadi 4 kategori. Penting-Mendesak, Penting-Tidak Mendesak, Tidak Penting-Mendesak, dan Tidak Penting-Tidak Mendesak. Seharusnya, janji yang telah lebih dahulu dibuat hanya dapat dibatalkan bila janji yang akan dibuat tersebut termasuk kategori Penting-Mendesak dan Tidak Penting-Mendesak. Namun kita sering kali tega membatalkan janji hanya karena janji baru yang akan dibuat baru termasuk kategori Penting-Tidak Mendesak dan Tidak Penting-Tidak Mendesak. Bayangkan perasaan orang yang telah anda janjikan bila anda membatalkan janji hanya karena janji lain yang Penting-Tidak Mendesak. Contohnya saat anda janji untuk bertemu jam 10 pagi, namun anda membatalkan hal tersebut dengan alasan anda harus makan. Kita tahu makan penting, tapi bukanlah sebuah hal yang mendesak. Toh masih bisa dilakukan saat makan siang. Kecuali bila anda penderita maag kronis, yang bila tidak makan maka akan menderita sakit berkepanjangan, maka alasan makan termasuk kategori Penting-Mendesak.

Terlebih lagi bila anda harus membatalkan janji yang lebih dulu anda buat dengan rekan bisnis anda hanya karena anda ada janji baru untuk jalan bersama teman-teman se genk anda. Janji yang termasuk kategori Tidak Penting-Tidak Mendesak. Bayangkan bila anda berada di posisi rekan bisnis anda tersebut, bagaimana perasaan anda? Karena tulisan ini membahas masalah janji, silahkan anda jawab sendiri pertanyaan yang bersifat retoris tersebut.

Monday, March 16, 2009

Konsekuensi Logis Keduabelas


Alternatif cara menggagalkan UU BHP

Hari kamis tanggal 12 maret 2009 temen2 dari UI melakukan aksi demonstrasi ke Mahkamah Agung sebagai bentuk aksi solidaritas bagi temen2 ICW yang melakukan judicial review UU BHP dengan tuntutan mencabut UU BHP. sebuah aksi yang cukup jelas isunya, pun msih disayangkan kurangnya propaganda mengenai hal itu. tapi bukan masalah aksi yang ingin dibahas dalam tulisan ini. setiap orang berhak untuk menyuarakan pendapatnya dalam alam demokrasi ini. setiap cara pun boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di negara ini. oleh karena itulah saya disini mencoba memberikan alternatif cara bagi temen-temen yang mau mencabut UU BHP dari daftar perundang-undangan yang berlaku di indonesia.

Masih dalam konteks pemilu. tanggal 9 april nanti kita akan melaksanakan hajatan akbar negara yang menentukan jalannya negara selama lima tahun kedepan. menilik paradigma sebab-akibat, semua hal pasti disebabkan oleh sesuatu. dan semua hal juga mengakibatkan sesuatu juga. dalam konteks pemilu, siapa-siapa yang kita pilih akan menentukan seperti apa negara kan dijalankan, UU apa saja yang akan dibuat, dan tentu saja UU apa saja yang akan direvisi atau bahkan dicabut.

Berhubung belum ada yang terpilih dan para caleg, dan nantinya capres, masih membutuhkan dukungan berupa suara. saya rasa mahasiswa mempunyai "bargain power" yang cukup besar untuk tawar-menawar dengan para caleg dan atau capres. alternatif cara yang ditawarkan adalah tawarkan kepada caleg dan atau capres dukungan suara mahasiswa dengan adanya ontrak politik hal-hal yang jadi perjuangan mahasiswa sekarang. tidak seperti sekarang, mahasiswa dengan arogannya meminta kontrak politik tanpa adanya kontra prestasi kepada caleg dan capres tersebut.sudah tidak zamannya lagi mahasiswa berdiri tanpa memihak. kita dibekali pemahaman dan pendidikan yang lebih tinggi dari kebanyakan pemuda indonesia lainnya. kenapa tidak kita manfaatkan hal itu. apa susahnya mahasiswa menyatakan dukungan terhadap satu pihak, tentunya dengan alasan yang sesuai dengan pemahaman dan pemikiran kita yang katanya lebih intelek. apa kita takut untuk bertanggung jawab atas apa-apa yang kita lakukan?

tapi, sepertinya alternatif cara yang saya ajukan ini tidak seperti alternatif pada umumnya, yang biasanya menawarkan cara yang lebih mudah. cari ini memang lebih sulit dibandingkan cara yang selama ini teman-teman mahasiswa lakukan. apalagi dengan kondisi dalam tubuh mahasiswa yang banyak faksi dan pertentangan, alternatif cara yang saya ajukan sepertinya sangat tidak mungkin untuk dilaksanakan. sekarang saya berfikir, merenung, dan membayangkan, kapan sekiranya alternatif cara tersebut dapat dijalankan???

Konsekuensi Logis Kesebelas


Mau benerin Negara? ikut PEMILU

berhubung momen pemilu, mau ikutan sumbang saran sekalian ngasih pendapat. Tergelitik juga untuk nulis ini karena banyak banget pemuda-pemudi yang antipati dan ga mau tahu soal pemilu. sewaktu gw tanya kenapa, jawabnya cuma karena ga mau aja. atawa ada sedikit yang ngasih jawaban yang logis tapi banyak banget fallacies-nya. alesannya simple banget.

"mau ikut pemilu apa ga, ga akan ngerubah apa-apa. liat aja kondisi sekarang, mana ada yang berubah?"

apa iyah?
ini kesalahan berpikir pertama.. boi.. pemilu itu dilakukan untuk memilih siapa-siapa yang berhak untuk memegang amanah dan tanggung jawab untuk ngelola pemerintahan dan kekayaan negara. siapa yang lo pilih, berhak ngapa2in negara ini. kalo lo milih berarti lo ikut bertanggung jawab terhadap jalannya negara. secara gituh, dia-dia orang, lo yang milih.
nah, kalo lo ga ikut milih, bukan berarti lo ga bertanggung jawab. justru tanggung jawab lo makin besar. contohnya gini. ada seorang calon presiden yang nyebelin banget. ne calon punya hobi pedofil, agak nyeleneh, suka bertindak eksentrik, dan lain-lain lah.. calon lainnya ga bener-bener banget sih. ngaco juga tapi ga segitu parahnya. terus karena lo ngeliat ga ada yang beres, terus jadinya ga ikut milih. parahnya, semua orang yang setipe sama lo ngelakuin hal yang sama juga. dan lebih parah lagi, si calon yang pedofil ituh punya banyak uang dan pengaruh sehingga dia dapat membeli sura bagi kemenangan dia. jadinya tuh orang kepilih deh jadi presiden. apa iyah akhirnya lo ga bertanggung jawab???
jelas-jelas sangat bertanggung jawab karena dengan tidak memilih membuat si calon yang pedofil punya hak untuk mimpin negara dan pemerintahan. bisa aja khan dia orang dengan senag hati nyuli-nyulikin anak perempuan yang masih kecil dengan aparat yang dia punya.

yah... mungkin contohnya terlalu ekstrim, tapi dengan konteks seperti apapun hal ini berlaku. kondisi negara kita sekarang ditentukan oleh orang-orang yang berkesempatan untuk memimpin jalannya negara. perlu disadari maju mundurnya negara tuh tanggung jawab semua warga negara. pemerintah itu cuma sebagian kecil dari pihak yang bertanggung jawab. tapi, kecil-kecil cabe rawit tuh. biar dikit tapi menentukan hajat hidup orang banyak. jadi, gunakanlah hak pilihmu. jangan menjadi orang yang mau lari dari tanggung jawab.

nah, kalo masih bingung sama siapa yang bakalan lo pilih. gampang banget kok. ketik aja kata kunci daftar calon legislatif di google. ga sampe dua detik juga langsung keluar hasilnya. jangan juga males dan maunya yang instan ajah. cari dan pelajari siapa-siapa yang berhak menerima amanah dan tanggung jawab dari kita, untuk menjalankan fungsi kenegaraan.

yah, sebenernya golput atau tidak memang pilihan masing-masing orang. oleh karena itu gw bikin tulisan ini dengan tujuan menjadi bahan pemikiran kisanak-kisanak sekalian.

Friday, February 6, 2009

Konsekuensi Logis Kesepuluh

Kalau mengendarai motor dengan kecepatan lebih kurang enam puluh kilometer per jam selama tiga puluh menit sambil membungkuk dan menundukkan badan sehingga menempel pada setang karena menahan perih dan sakit di lambung disebabkan oleh serangan maag akibat terlambat makan sekitar 12 jam maka jangan salahkan bila orang yang melihat menganggap saya sedang bergaya layaknya pembalap beneran.

Padahal ga ada maksud demikian.

Gw harap kalimatnya ga kepanjangan ^_^

Thursday, February 5, 2009

Konsekuensi Logis Kesembilan

This summary is not available. Please click here to view the post.

Wednesday, February 4, 2009

Konsekuensi Logis Kedelapan

Hati-hati buat semua orang yang seringkali meremehkan arti CINTA. terutama buat kaum pria. tidak menutup juga untuk kaum wanita. lebih terutama lagi buat yang sering bermain asmara. terlebih terutama lagi buat yang sering kali mengkhianatinya.

CINTA itu bukan hanya sekedar kata, bukan ungkapan yang dapat selaluu dikatakan. bukan pula sebuah umpan untuk mendapatkan sedikit kesenangan. karena cinta adalah memberi. memberi segala upaya dengan kesiapan penuh akan segala macam konsekuensinya, untuk membahagiakan orang yang kita Cintai. tanpa adanya segala kesiapan dan kesungguhan hati untuk melakukan itu semua, lebih baik janganlah sampai cinta terucap dari bibir kita.

Perlu disadari juga, bahwa apa yang membahagiakan orang yang kita cintai itu belum tentu membahagiakan kita juga. apakah kita siap menerimanya?

Jangan pula dilupakan bahwa mencintai itu bukan berarti selalu memberikan segala macam kesenangan. karena rasa jamu dan obat itu pahit, berarti bisa jadi hal yang kita anggap tidak baik dan menyakiti malah merupakan jalan untuk orang yang kita cintai itu bahagia. bila ini yang terjadi, siapkah kita untuk melakukannya?

Dalam percintaan tak selamanya akan dilalui kesenangan dan keindahan. bila suatu saat orang yang kita cintai itu tidak lagi memberikan kesenangan dan keindahan, apakah perkataan cinta tadi akan tetap bertahan?

CINTA itu memang mudah untuk diucapkan, tapi apakah kita sanggup menanggung konsekuensi logis dari mencintai? bila tidak, telanlah kata-katamu kembali.

*terinspirasi dari notes seorang teman

Monday, February 2, 2009

Konsekuensi Logis Ketujuh

Setibanya di rumah, hal pertama yang gw lakukan setelah mencuci tangan dan kaki serta sikat gigi adalah menyalakan komputer gw yang sudah beberapa lama tidak gw gunakan. Tidak sempat adalah jawaban yang akan gw berikan bila ada yang bertanya kenapa gw jarang pakai komputer belakangan ini. Itupun kalo ada yang nanya, yang gw yakin emang ga ada. Tapi kali ini lain dari biasanya, gw ga mau lagi mengatakan tidak sempat untuk menggunakan benda paling canggih di rumah gw ini. Bahkan kepada diri gw sendiri. Alesannya bukan hal yang besar sich, tapi cukup penting buat gw. Kali ini gw menggunakan komputer untuk nulis notes yang sedang kalian baca ini. Tulisan sederhana, ungkapan hati sebenarnya, tentang kesan dan pesan setelah gw menyaksikan acara Tenda Purnama (Dapur) Fakultas Psikologi 2009. Sebelum gw lupa.

Tenang, gw bukannya mau evaluasi panitia maupun acara. Bukan hak dan kewajiban gw. Pun ada sedikit kejanggalan menyaksikan sedikitnya lulusan yang datang, padahal acara Dapur dimaksudkan untuk merayakan kelulusan para wisadawan. Tapi yasudahlah. Disini gw cuma mau berbagi tentang perbandingan perasaan yang gw rasakan saat gw jadi pengisi acara dan penonton. Saat jadi pengisi acara bersama teman-teman Desperados yang cuma nama, (karena sebenarnya masing-masing dari kami ga ada yang Desperate, bahagia sebenarnya ^_^) gw ngerasa ada sebuah rasa yang kurang. Rasa yang sebenarnya sangat gw harapkan untuk gw rasakan, saat bermain musik. Yang adalah rasa gimanaaaaa gituh. Aduh, susah juga njelasinnya. Hahaha

Daripada gw jelasin malah ga jelas juntrungannya, mendingan gw curhat ajah. Sejujurnya, saat membandingkan perasaan pas tampil tadi dengan perasaan yang gw liat dari penampil lainnya tuh, gw kecewa banget. Tadi tuh temen-temen desperados tampilnya ga semangat, mungkin lebih parah malah ga menikmati. Padahal tujuan main musik khan agar bisa menghibur orang yang denger. Kalo yang main aja ga terhibur, gimana yang denger bisa terhibur?! Masakah berharap orang lain menikmati usik yang kita mainin, tapi kita aja ga nikmatin pas mainin! Konsekuensi Logis kalo mau menikmati saat bermain music adalah bermain dengan sepenuh hati dengan tujuan menghibur orang lain dengan terlebih dahulu menghibur diri sendiri.

Iri banget pas liat Kozi main. Sangat menikmati sekali. Pengen banget kayak gituh. Okeh kalo Kozi dirasa terlalu jauh untuk dijadikan pembanding. Kita tilik Psikusi aja deh. 2 jempol dah buat mereka. Pun ada sedikit kekurangan disana-sini, tapi yang pasti mereka menikmati. Ga jauh beda sama penampil lain yang tadi sempet gw liat. Semua nya bergembira. Kapan kiranya gw bisa kayak mereka.

Memang gw akuin, kemmapuan musik gw pas-pas-an. Tapi gw yakin dan berani jamin, keinginan gw untuk menikmati musik yang gw mainkan ga kalah besar sama mereka semua. Tentunya hal ini harus didukung oleh anggota desperados lainnya. Udah ah, cukup curhatnya. Yang jelas, gw cumamau bilang. Kapan-kapan kita mainkan musik yang menyenangkan. Apapun jenisnya, siapapun penyanyi aslinya, dan kapanpun lagu itu dipopulerkan. Apa ajah gw terima, asal nikmat aja mainnya.

Gimana ma lo semua? Punya keigninan yang sama ma gw ga? Saat desperados tampil lagi pastikan kita menikmati. Gimana???

Ide gw untuk perform desperados berikutnya, tema lagunya KEREN. Kita nyanyiin lagu-lagu yang KEREN dah pokoknya. Kemaren khan udah tuh ngebanyol en ngetawaain diri sendiri. Nah, sekarang saatnya kita unjuk gigi. Hihihihi

Mumpung kita udah cukup eksis di psiko gara-gara penampilan berantakan kita kemaren-kemaren. hehehehe

Konsekuensi Logis Keenam

Kemarenan ada yang nanya gimana perasaan gw melihat orang yg gw sayangi n cintai merajut cinta dan kasih sayang dengan orang lain. gw jawab dengan jelas bahwa gw bahagia, berharap, dan berdoa. bahagia karena melihat dia berbahagia, berharap dia benar-benar bahagia, dan ga lupa berdoa kepada Yang Maha Kuasa.


jawaban yg socially n rasionally desirable ny tinggi. jawaban yg trkesan sengaja disesuaikan dgn jawaban yg ingin didengar oleh lingkungan sosial dan pikiran rasional.. dengan bahasa yg lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jawaban gw itu bohong belaka. rasionalisasi biar ga terlalu sakit aja.

ga salah kalo ada yg beranggapan seperti itu. sudah jadi kodratnya manusia kalo akan sakit dan terluka karena tidak tercapai keinginan dan harapannya. gw juga merasakan hal itu. tapi apa kita mau merasakan kesedihan dan kekecewaan terus menerus karena keinginan kita tidak tercapai? apalagi tidak ada yg bisa kita lakukan lagi utk merubah semua itu. jadi, terima sajalah, dan lanjutkan hidup. alasan ini juga bs menjadi alasan atas jawaban gw trhadap pertanyaan yg gw sebutkan di awal. jawaban ini diberikan oleh orang yg sudah berada dalam tahap Learned Helplesness. tahap saat akhirnya kita belajar bahwa tidak ada lagi yg dapat kita lakukan selain menerima keadaan. yap, gw juga pernah berada dalam tahapan ini. jadi wajar aja kalo ada yg curiga akan kebenaran alasan ini.

tapi dengan jujur gw katakan, alasan dari jawaban gw itu bukanlah seperti yg jadi kecurigaan. gw bahagia melihat dia bahagia dengan orang lain adalah karena gw emang sayang ma dia. bukankah makna dari menyayangi dan mencintai adalah membuat orang yg kita sayang dan cintai bahagia?! dan apa salahnya kalau ternyata dia bahagia bukan karena kita?! yap, inilah alasan gw. setidaknya inilah yg gw yakini.

Konsekuensi Logis dari menyayangi dan mencintai seseorang adalah adanya usaha utk membahagiakan orang tersebut. bahkan bila harus meninggalkannya sekalipun.

Wednesday, January 28, 2009

Konsekuensi Logis Kelima






Lagi liat-liat foto-foto backpackingan ke yogya. Pengalam menyenangkan yang tak mungkin khan dilupa. secara sengaja. ga tahu deh kalo ternyata kapasitas memori otak terbatas sehingga tidak bisa mempertahankan ingatan ini karena terdesak oleh ingatan yang lebih baru..

untungnya jaman sudah canggih, ingatan yang sebegitu banyaknya, tidak perlu untuk disimpan semua di otak. sedikit melegakan buat kapasitas otak. teknologi yang berketepatan digunakan untuk menyimpan memori berkegiatan kali ini adalah kamera digital. banyak banget gambar-gambar yang bisa dijadikan kenangan untuk masa depan, kali aja buat anak-cucu kelak. hahaha

wuih.. ada beberapa gambar yang bagus neh. tapi kurang gimana gitu. sepertinya seru kalo dikasih efek. niatan ini harus gw wujudin. padahal sama sekali ga ngerti gimana caranya bikin efek di foto. untungnya ada software ajaib buah kemajuan teknologi yang diberi tajuk Adobe Photoshops. berhubung udah punya kemauan, konsekuensi logis yang timbul untuk pemenuhan kemauan itu adalah harus nyari jalan. terpaksa dah uprak-uprek berbagai macam aplikasi Photoshop yang namanya aja udah bikin puyeng. tapi namanyua juga udah punya niat, apapun dijalanin..

satu jam kemudian. akhirnya tahu bagaimana cara menggunakan adobe photoshop.

setengah jam berikutnya. berhasil bikin satu foto dengan efek.

ga sampe lima menit, udah ada tiga foto dengan efek yang sama.

bangga juga sama diri sendiri. ternyata bisa juga memaksa diri untuk berlama-lama mengerjakan sebuah hal yang sebenernya susah buat gw. ingin sedikit bersombong ria, maka kuucapkan sambutlah dunia untuk percobaan pertama karya saya ^_^

Selamat Menikmati...

Saturday, January 24, 2009

Konsekuensi Logis Keempat

PERINGATAN !!!

Hawa perkebunan teh dapat menyebabkan bengong, serangan kantuk, kemalasan, dan gangguan hati dan perasaan

Friday, January 23, 2009

Konsekuensi Logis Ketiga

Lebih-kurang seminggu lamanya jalan-jalan menyusuri pantai di selatan Yogyakarta dengan beban di punggung seberat belasan kilogram. Ditambah menjelajah keindahan dan keunikan kota Yogya, meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Begitu juga kekasih yang belum saatnya tuk pulang.

Kembali ke Jakarta menumpang kereta api ekonomi dengan fasilitas udara segar berhembus kencang sepanjang malam. Memaksakan tidur beralaskan selembar koran, lumayan, bisa tidur dua jam. Sampai di rumah 12 jam kemudian.

Berbagi cerita dengan orang rumah yang sudah sangat kurindukan, juga kusayang. Tak terasa hari sudah beranjak siang, bersiap tuk berangkat menuntaskan janji yang sudah diucapkan. Kembali lagi ke rumah, lewat tiga perempat malam.

Esoknya, rutinitas yang lebih kurang sama kulakukan. Juga 2 hari kemudian. Remuklah badan.

Thursday, January 8, 2009

Konsekuensi Logis Kedua

“Ibunya Ibadah adalah Sholat, Ibunya Amal adalah Da’wah, dan Ibunya Al_qur’an adalah Al-Fatihah”

Dari kutipan hadist barusan gw mendapatkan pemahaman dari seorang kawan bahwa bila ingin mendapatkan ibadah lainnya, maka lakukanlah sholat terlebih dahulu. Karena disebut sebagai ibunya ibadah, maka sholat memiliki keistimewaan tersendiri yang dapat menghantarkan kita mendapatkan ibadah lainnya. Kawan gw itu menganalogikan dengan menangkap gerombolan penjahat. Bila kita sudah menangkap gembong penjahatnya, maka anak buahnya pun akan tertangkap. Gw mengamini pendapat kawan gw tersebut. Dari analogi barusan, gw mendapatkan sanggahan dari seorang teman. Dia bilang, bahwa “Ga otomatis kaya gitu. Ga mentang-mentang udah nangkep ketua penjahat, terus anak buahnya akan tertangkap secara otomatis. Harus ada usaha lanjutan untuk menangkap anak buahnya”. “ga bisa dibilang juga, kalo udah sholat, maka ibadah lainnya akan otomatis kita dapatkan”

Sebenarnya gw sepakat sama pendapat temen gw barusan. Gw juga ga sepakat bila dikatakan bahwa setelah melakukan sholat maka akan secara otomatis mendapatkan ibadah lainnya. Sangat tidak mungkin pula bila kita berharap setelah menangkap ketua dari gerombolan penjahat, anak buahnya akan ikut tertangkap bila kita tidak berusaha menangkap mereka. Begitu pula dengan ibadah. Kalau hanya sholat saja tapi tidak berusaha melakukan ibadah lainnya, maka jangan berharap kita akan mendapatkan ibadah lainnya tersebut. Harus ada upaya lanjutan untuk melakukan ibadah-ibadah tersebut.

Jangan-jangan ada yang salah sama penyampaian gw, sehingga analogi gw di diinterpretasikan bahwa cukup hanya dengan melakukan sholat, maka ibadah lainnya akan kita dapatkan tanpa usaha. Sekali lagi gw tekankan, bahwa pun sholat adalah ibunya ibadah, tidak serta merta dan otomatis kita mendapatkan ibadah lainnya bila kita tidak berupaya untuk melakukannya.

Maksud dari analogi menangkap gembong penjahat adalah seperti ini. Bila kita ingin menangkap gerombolan penjahat, maka tangkaplah ketuanya terlebih dahulu. Baru menangkap anak buahnya. Bila ketuanya telah kita tangkap, maka akan lebih mudah untuk menangkap anak buahnya. Akan ada motivasi yang timbul karena tertangkapnya ketua penjahat tersebut. “Ketuanya sudah tertangkap, sekalian saja tangkap anak buahnya”, ini motivasi yang pertama. Atau motivasi seperti ini “Kita khan bisa menangkap ketuanya, berarti bisa dong menangkap anak buahnya”.

Serupa dengan sholat. Sholat sebagai ibunya ibadah memang mempunyai keistimewaan yang dapat menghantarkan kita untuk melakukan ibadah lainnya. Kenapa bisa begitu? Sholat adalah bentuk penghambaan dan penyembahan kepada Allah. Bila kita melakukan sholat berarti kita mengakui Allah sebagai pencipta kita, sebagai zat yang Maha Segalanya. Bahwa Allah akan mengawasi segala gerak-gerik, tindak-tanduk, dan perilaku kita selama di dunia. Bila pemahaman ini sudah ada di otak dan hati kita, maka kita akan menjaga perilaku kita agar senantiasa baik. Kita akan berusaha untuk tidak melakukan hal buruk, karena kita tahu, sadar, dan paham bahwa kita selalu diawasi oleh Allah. Bahwa segala tindakan kita akan dicatat oleh Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari kiamat. Dengan pemahaman seperti ini, maka setelah kita sholat, kita akan berusaha untuk melakukan ibadah lainnya. Kita akan selalu berupaya untuk berbuat kebaikan di dunia. Kita akan termotivasi untuk memakmurkan anak yatim. Kita akan berusaha untuk menolong orang yang kesusahan. Kita akan senantiasa berbuat baik kepada semua orang. Kita akan mengedepankan usaha dan kerja keras untuk mencapai tujuan. Kita akan menghindari segala bentuk kecurangan dan penyelewengan kekuasaan.

Dari penjabaran barusan dapat disimpulkan bahwa konsekuensi logis melakukan sholat adalah adanya timbulnya kesadaran untuk melakukan segala macam bentuk ibadah lainnya. Kesadaran untuk selalu berusaha melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.

“Sesungguhnya sholat mencegah perbuatan keji dan munkar”

Konsekuensi Logis Kesatu

Konsekuensi Logis Kesatu


Gw pernah berada dalam satu masa dimana gw yakin dan percaya bahwa tanpa gw melakukan sholat pun Allah pasti membalas semua kebaikan lain yang gw lakukan dan nantinya gw tetap bisa masuk surga. Allah khan Maha Pemurah, Maha Penyayang pada tiap makhluknya. Apalagi sama gw, gw khan selalu melakukan hal baik, ga pernah berniat menyakiti orang lain (pun dalam kenyataannya perilaku gw kadang menyakiti orang lain), berusaha menebarkan kebermanfaatan bagi sekitar (yang namanya usaha, kadang berhasil kadang enggak) , endebla, endebla.

Pastinya gw melakukan kesalahan, manusia kan selalu tak luput dari salah dan lupa. Tapi karena ini sudah sifat dasar manusia, jadi wajar aja kalo gw juga begitu. Pasti Allah lebih ngerti lah, Dia khan Maha Tahu. Dia pasti tahu apa yang ada di lubuk hati gw terdalam, bahwa gw selalu berniat untuk berbuat baik. Pun kenyataannya kadang tidak. Tapi gw khan manusia, wajar dong salah. Yah, pun masuk neraka, paling cuma sebentar untuk nyuci dosa. Terus setelah dosa gw tertebus, nanti gw akan masuk surga. Selama gw masih meyakini dan percaya bahwa Allah adalah Tuhan satu-satunya dan Nabi Muhammad SAW adalah utusannya.

Dari pemikiran di atas ga salah kalo dibilang bahwa proses berpikir gw belum matang. Karena gw masih melakukan kesalahan berpikir yang umum dilakukan para remaja. Meminjam istilah Elkind, namanya Personal Fable. Ngerasa bahwa gw ini istimewa. Jadi ga mungkin kalo hal buruk terjadi pada gw. Akhirnya gw memahami bahwa pemikiran gw ini salah. Yang namanya hal buruk bisa terjadi pada siapa saja. Ga terkecuali gw. Jadi mungkin aja gw masuk neraka. Untuk selama-lamanya.

Kembali kepada argumen gw bahwa tanpa sholat pun gw pasti bisa masuk surga, karena gw sudah melakukan kebaikan-kebaikan lain yang diperintahkan oleh Allah. Selama gw masih mengakui dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan gw, maka cukuplah dengan seperti itu. Ga perlu lah ritual sholat segala. Toh Allah maha mengetahui, Dia pasti tahu isi hati gw sebenarnya. Walaupun gw ga sholat, di dalam hati gw meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Belum lagi kenyataan di luar sana yang menunjukkan bahwa banyak banget orang yang sholatnya rajin setengah mampus tapi kelakuannya jahat. Ada ustadz nyabulin muridnya lah. Ada haji yang jadi rentenir lah. Bahkan menurut penuturan langsung PSK di Gongseng, dia juga rajin sholat pun masih juga menjajakan tubuhnya. Lebih jauh lagi, ada segerombolan massa yang melakukan pengrusakan dan penghancuran dengan dalih agama Islam dan perintah Allah. Oleh karena itu gw berkesimpulan, ga penting lah gimana sholat gw, yang penting gw melakukan kebaikan sepanjang usia gw. Argumen-argumen inilah yang gw jadikan dasar kenapa gw memilih untuk mengesampingkan sholat dibanding berbuat kebaikan yang lain.

Gw berusaha untuk menelaah argumen gw barusan. Pertama gw berpendapat bahwa tanpa sholat pun gw bisa masuk surga selama gw melakukan kebaikan lainnya dan tetap percaya dan yakin bahwa Allah lah Tuhan satu-satunya. Dari sini ternyata ada celah yang dapat dikritisi. Ngakunya percaya dan yakin kalo Allah adalah Tuhan satu-satunya. Buktinya mana? Memang Allah Maha Mengetahui, jadi pastinya Dia tahu isi hati gw. Tapi apakah cukup hanya seperti itu. Kalau memang cukup seperti itu, lalu buat apa Allah nyuruh sholat? Ga mungkin cuma iseng doang khan?

Sholat adalah ibadah utama sebagai bentuk penghambaan dan penyembahan. Setelah gw mengakui bahwa hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Sudah seharusnya gw menyembah Dia. Nah, gimana caranya nyembah? Kalo menurut ajaran agama Islam yang gw anut, sholatlah caranya. Jadi sangat aneh kalo gw mikir ga perlu sholat. Sholat lah bukti penghambaan gw dan penyembahan gw kepada Allah. Gw ga bermaksud mengatakan bahwa kita perlu membuktikan bahwa kita sudah sholat kepada orang lain. Ga perlulah hal itu, ini hanya hubungan gw dengan Allah. Biar hanya Allah yang tahu gw sholat apa ga. Tapi gw berani menyatakan sikap, bahwa pemikiran yang menyatakan bahwa kita ga perlu sholat adalah pemikiran yang salah. Konsekuensi logis dari penghambaan adalah menyembah. Bila sudah menyatakan sebagai seorang Muslim, maka sholatlah.

Soal argumen gw yang kedua, yaitu banyak orang yang sholat tapi kelakuannya jahat. Sebenernya hal ini ga bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan sholat. Sholat adalah bentuk hubungan kita sebagai makhluk, dengan Allah sebagai Sang Khalik. Sedangkan argumen gw yang kedua ini menekankan pada hubungan antar manusia. Yang sejujurnya gw ga punya kuasa atas hal itu. Lagian gw mana tahu orang lain sholat apa ga? Apa bener ustadz yang nyabulin muridnya itu sholat? Orang-orang yang melakukan pengrusakan atas nama agama dan Tuhan itu benar-benar sudah sholat? Hanya Allah yang tahu dan biarkan Allah yang memberikan penilaian.

Poin penting dari tulisan ini adalah bahwa ada konsekuensi logis yang harus kita terima setelah menyatakan mempunyai Tuhan, yaitu menyembahnya. Kalau kita sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka konsekuensi logisnya adalah sholat. Hal yang serupa berlaku bagi pemeluk agama dan aliran kepercayaan lainnya. Pun bentuk ibadah penyembahannya berbeda-beda.