Total Pageviews

Wednesday, November 25, 2009

Konsekuensi Logis Ketujuhbelas

Mereka Sanggup Bertahan

Teringat kembali akan perjalanan menghabiskan waktu liburan menjelajahi wilayah Ibukota DKI Jakarta yang jarang sekali terlintas di pikiran, yaitu Kepulauan Seribu, tepatnya Pulau Tidung. Sedikit takjub ternyata di pinggiran padatnya kota metropolitan Jakarta, masih terdapat suasana alam yang asri dan indah untuk dinikmati. Makin yakin bahwa Indonesia memang surga bagi para penikmat keindahan alam. Namun, pengalaman menyenangkan ini terpaksa harus ditutup dengan kenyataan yang menyesakkan.

Pada perjalanan pulang, karena satu dan lain hal, kami terpaksa harus memutar cukup jauh dari rute kami berangkat menuju pelabuhan kecil di pinggir Tangerang. Dalam perjalanan ini, segala macam keindahan yang sejenak masih terbayang langsung terhapuskan. Pemandangan yang terlihat sungguh miris. Di tempat yang letaknya tidak jauh dari Ibukota masih banyak dijumpai penduduk yang menggunakan air kali untuk melaksanakan sebagian besar hajat hidupnya. Mulai dari mencuci, mandi, hingga buang air. Lebih parahnya lagi, kali yang digunakan tersebut sebenarnya tidak layak disebut kali. Kalau menurut pendapat saya, tempat itu lebih tepat disebut sebagai genangan air. Genangan air yang kotor, bau, dan tidak sedap untuk dipandang. Coba bayangkan, air kali yang berwarna coklat, bahkan hitam, masih saja digunakan untuk mencuci, mandi, dan mungkin untuk minum. Tempatnya ga jauh dari Jakarta lho. Cuma dua jam dari Kali Deres. Menurut saya ini GILA!!!

Tapi, mereka sanggup bertahan.

Lain lagi pemandangan di sepanjang rel kereta stasiun Senen menuju Jatinegara. Kali ini, perjalanan yang dimaksudkan untuk liburan lagi-lagi dijejali dengan pemandangan yang menyesakkan. Di pinggir rel tersebut terdapat banyak sekali rumah yang tidak bisa disebut rumah. Hanya terbuat dari papan dan seng yang didirikan sekenanya. Karena tidak kuat melihat pemandangan tersebut, saya mencoba memalingkan muka dan mencoba melihat aktifitas di dalam kereta yang ternyata tidak kalah menyedihkannya. Seorang anak yang cacat sedang menengadahkan tangan meminta-minta belas kasihan. Sedangkan beberapa bocah lain seusianya sibuk menjajakan barang dagangan yang entah apa. Sebuah kehidupan keras yang harus mereka jalani dalam usia semuda itu.

Tapi mereka sangup bertahan.

Pernah juga pada suatu malam yang sudah sangat larut, disaat saya sedang berbicang dengan kawan mengenai kegiatan kepemudaan di lingkungan rumah. Obrolan kami terhenti dan perhatian kami teralihkan pada beberapa orang anak kecil yang menggendong karung yang berusaha diisi dengan sampah-sampah yang dapat dijadikan uang. Padahal waktu itu obrolan kami hampir berakhir karena kami sudah merasa mengantuk dan lelah. Namun, para anak kecil ini kami lihat dengan riang gembira berusaha memenuhi karungnya dengan barang yang mereka anggap berharga.

Dan ternyata mereka sanggup bertahan.

Lalu, kemudian perhatian saya lagi-lagi teralihkan.

No comments:

Post a Comment